Sa Suka Ko

Pernah jadi anak tomboy. Dulu suka pake baju kaos yang gambarnya Ultraman ato gak yang Panji Manusia Milenium. Laki banget gak sih?πŸ˜… Ada sayap-sayap pula di bajunya, berasa jadi superhero kalo dipake. Dulu juga suka girang sendiri kalo main Tamiya. Tahu kan yang mobil-mobilan itu? Yang sering adu balap, dicari tuh mana yang paling cepat lajunya. Meskipun seringkali cuma bisa nonton balap tamiya-nya. Maklum ya karena saya cewe, tandingnya cuma buat anak cowo. Tapi alhamdulillah tetap senang kok. Oh iya, beberapa kali juga pernah ngajak teman untuk adu balap sepeda. Ditonton tetangga se-kompleks pula. Mungkin efek punya kaka cowo yang usianya beti kali yaa (alias beda tipis), jadinya suka niru gaya anak cowo. Di saat anak cewe main masak-masak, saya malah main bola sepak. Di saat anak cewe hobi main Barbie, saya malah hobi manjat pohon tinggi. Dulu di halaman rumah ada pohon cemara. Tingginya lumayan. Lumayan "gak aman" untuk dipanjati anak cewe. Juga ada pohon jambu, kalo lagi sejuk suka rebahan di atas ranting-rantingnya sambil ngunyah jambu. Kok dulu se-berani itu ya? HeranπŸ˜…

Predikat tomboy ini terbawa hingga masa SD. Efeknya ya itu, lebih banyak berteman dengan anak cowo. Alasannya karena pertemanan antar-anak-cowo itu lebih simple, tidak ribet. Ini menurutku yaa. Cewe itu ada sifat "ambekan"-nya. Salah dikit, eh marah. Bedanya dengan cowo, pertemanan mereka lebih santuy dan no jaim-jaim. Tul gak? Setelah sekian lama bergaul dengan anak cowo, lama-kelamaan mulai risih, lambat laun mulai menyadari kodrat. Akhirnya mulai sering main sama anak cewe, mulai punya sahabat cewe. 

Dari sekian banyak teman cowo, ada satu yang berkesan. Sebut saja namanya Dio. Dia itu teman sekolah sekaligus teman mainku. Jarak rumahnya ke rumahku cukup dekat (kurang lebih 0,5 km). Kadang kami pulang bareng jalan kaki dengan teman-teman lain yang jalan pulangnya searah. Sesekali kami suka singgah ke TK (taman kanak-kanak) yang kami lewati. Beruntung karena taman bermainnya dibuka untuk umum, jadi kami bebas main. Di sana kami main luncuran, ayunan, jungkat-jungkit, dll beberapa menit lalu pulang. Kalo khilaf bisa sampai se-jam bahkan lebih. Si Dio ini selalu asyik diajak main walau kadang suka iseng. Physically, Dio matanya sipit dan anaknya murah senyum. Jadi tiap senyum matanya nyaris tak nampak. Gaya rambutnya keseringan belah tengah gitu, istilah kerennya curtains hairstyle. Overall, dia cakep.

Suatu hari, gelagat si Dio beda dari biasanya. Aneh. Dia nampak lebih calm hari itu. Kami bermain seperti biasanya pada jam istirahat, namun hari itu situasinya agak awkward (antara saya dan Dio). Ketika yang lain sibuk dengan permainannya, Dio pelan-pelan mendekatiku dan berdiri tepat di hadapanku. Seperti sedang ingin menyampaikan sesuatu tapi tertahan. Kami dalam keramaian, tapi di momen seper-sekian detik itu seperti hanya ada saya dan dia di sana. Waktu terasa berhenti sesaat, persis ketika dia mengucapkan sesuatu, "Dewi, sa suka ko". Tidak ada tanggapan dariku, tidak ada senyum ataupun marah. Hanya diam. Hening. Saya menatapnya gamang sebelum hening itu buyar oleh dering bel masuk kelas.

Sa suka ko. Ini dialek Papua. Dulu saya sempat mengecap masa sekolah di Papua. Arti kalimat ini adalah, saya suka kamu. "Sa" artinya "Saya" dan "Ko" artinya "Kamu". 

"Dewi, sa suka ko"

Kalimat itu terngiang-ngiang dalam pikiran. Dio? Suka saya? Ah mana mungkin. Pasti cuma bercanda. Kami masih terlalu belia untuk menganggap itu hal serius. Tapi akhir-akhir ini dia memang beda. Sontak ungkapan Dio mengundangku ke dalam ruang renung yang panjang. 

Keesokan harinya tempat duduk Dio kosong. "Eh Dio kenapa tidak masuk ee?", tanya teman kelasku yang tempat duduknya tidak jauh dariku. Saya pun penasaran "Kok dia tidak masuk ya?", tanyaku dalam hati. Di tengah jam belajar ada orang dewasa yang masuk dengan sepucuk surat di tangannya. Dia menghampiri meja bu guru. Bicaranya agak lama. Rupanya Dio sakit. Dia demam berdarah dan masuk rumah sakit. Duh, kasihan Dio. 

Tepat dua hari setelah kejadian itu, tempat duduk Dio masih kosong. Dio, semoga lekas sembuh. Tapi kalau dia sembuh dan masuk kembali bakalan gimana ya? Pasti awkward. Ah gak peduli. Pokoknya semoga Dio sembuh dan kembali sekolah lagi. Ya, dia mesti sembuh. Aamiin. 

Tentang kalimat 3 kata itu hanya saya--Dio--dan--Allah yang tahu saat itu. Saya malu menyampaikan ini pada teman, terlebih teman sebangku. Bisa geger. Tahu kan anak sekolahan suka rame kalo bahas hal romansa. Apalagi ini antar-teman-sekelas. Saya malu.

Hari demi hari berlalu, Dio belum menunjukkan batang hidungnya di sekolah. Kangen Dio. Beberapa hari terakhir, teman pulang sekolah kami kurang 1. Kurang Dio. Kelas juga jadi kurang rame karena biasanya si Dio ini punya bahan lelucuan untuk mengocok perut seisi kelas. 

Jadwal masuk sekolah kami selalu bergantian tiap pekan. Kadang masuk pagi, kadang masuk siang. Maklum jumlah siswa melebihi kapasitas kelas. Pekan itu kami masuk siang. Setelah sholat shubuh saya tidur lagi di ranjang bertingkat. Tiba-tiba saya terbangun oleh suara pengumuman masjid. Masjid bersuara di luar jam sholat. Ada pengumuman apa ini? Kalimat demi kalimat pengumuman masjid tidak terdengar jelas. Hanya saja telinga ini mendengar sebuah nama yang tidak asing. Oh tidak, saya nyaris loncat dari ranjang bertingkat. 

Ketika keluar kamar, ternyata ada mama sedang duduk menyimak pengumuman masjid. "Ma, itu benar kah (pengumumannya)?", tanyaku pada mama. "Iya nak, temanmu meninggal". "Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun". Auto-lemas. "Ma, ayo kita ke rumahnya". Mama pun mengiyakan. 

Bagaimana perasaanmu ketika mendengar kabar bahwa temanmu meninggal dunia? Bagaimana perasaanmu ketika melihat jasadnya terbaring tanpa ruh, tepat di hadapanmu? Terbujur kaku tanpa sepatah kata. Sedih. Pasti sedih. Demikianlah perasaanku. Pandanganku tersita pada fotonya yang berpose senyum. Dalam hati berkata, "Dio, saya tahu kamu ada di sini, ada di sekitar kami. Bukan inginku untuk menemuimu dalam kondisi kita sudah berbeda dimensi. Maaf tidak menjengukmu, sungguh aku tak tahu kalau separah itu. Kelas akan sepi tanpa candaanmu. Teman pulang sekolahku pun akan berkurang. Teman mainku berkurang. Maaf jika selama ini belum jadi teman yang baik, Dio. Maaf jika selama ini pernah mengecewakanmu. Dan maaf karena hari itu tidak menanggapi ungkapan perasaanmu. Mungkin 3 kata yang kau ucapkan hari itu adalah sebuah isyarat pisah darimu. Mungkin hari itu kau sedang memberi salam perpisahan padaku". Dio :'

Tentang Dio, ada hal yang sebenarnya membuat diriku sulit menerima sampai hari ini. Ternyata Dio meninggal karena kesalahan prosedur perawatan. Kasusnya bahkan berlanjut hingga meja hijau, yang pada akhirnya dimenangkan oleh keluarganya. Bagaimana pun, ini pasti terjadi karena sudah ajalnya. Terlepas dari sebab-sebab kematiannya, memang ini sudah ketetapan Allah. Qaddarullah.. Semoga keluargamu diberi kelapangan hati, agar ikhlas melepasmu. Terima kasih karena dulu pernah mengisi hari-hariku. Terima kasih sudah mewarnai masa kecilku, jadi teman bermainku, dan.. terima kasih sudah mengungkapkan suka padaku. Semoga Allah memberimu tempat terbaik di sisi-Nya.  

Allahummagfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhuπŸ™

Comments

Popular posts from this blog

Verba Volant, Scripta Manent

Tentang Sekolah

Adik Kembar