Sa Suka Ko
Pernah jadi anak tomboy. Dulu suka
pake baju kaos yang gambarnya Ultraman ato gak yang Panji Manusia Milenium. Laki banget gak sih?π
Ada sayap-sayap pula di bajunya, berasa jadi superhero kalo dipake. Dulu juga suka girang sendiri
kalo main Tamiya. Tahu kan yang mobil-mobilan itu? Yang sering adu balap, dicari tuh mana yang paling cepat lajunya. Meskipun seringkali cuma bisa nonton balap tamiya-nya. Maklum ya karena saya cewe, tandingnya cuma buat anak cowo. Tapi alhamdulillah tetap senang kok. Oh iya, beberapa kali juga pernah ngajak teman untuk adu balap sepeda. Ditonton tetangga se-kompleks pula. Mungkin
efek punya kaka cowo yang usianya beti kali yaa (alias beda tipis), jadinya suka niru gaya anak
cowo. Di saat anak cewe main masak-masak, saya malah main bola sepak. Di saat
anak cewe hobi main Barbie, saya malah hobi manjat pohon tinggi. Dulu di halaman rumah
ada pohon cemara. Tingginya lumayan. Lumayan "gak aman" untuk dipanjati anak cewe. Juga ada pohon jambu, kalo lagi sejuk suka rebahan di atas ranting-rantingnya
sambil ngunyah jambu. Kok dulu se-berani itu ya? Heranπ
Predikat tomboy ini terbawa hingga masa SD. Efeknya ya itu, lebih banyak berteman dengan anak cowo. Alasannya karena pertemanan antar-anak-cowo itu lebih simple, tidak ribet. Ini menurutku yaa. Cewe itu ada sifat "ambekan"-nya. Salah dikit, eh marah. Bedanya dengan cowo, pertemanan mereka lebih santuy dan no jaim-jaim. Tul gak? Setelah sekian lama bergaul dengan anak cowo, lama-kelamaan mulai risih, lambat laun mulai menyadari kodrat. Akhirnya mulai sering main
sama anak cewe, mulai punya sahabat cewe.
Dari sekian banyak teman cowo, ada
satu yang berkesan. Sebut saja namanya Dio. Dia itu teman sekolah sekaligus teman mainku. Jarak rumahnya ke rumahku cukup
dekat (kurang lebih 0,5 km). Kadang kami pulang bareng jalan kaki dengan
teman-teman lain yang jalan pulangnya searah. Sesekali kami suka singgah ke TK (taman kanak-kanak) yang kami lewati. Beruntung karena taman bermainnya dibuka untuk
umum, jadi kami bebas main. Di sana kami main luncuran, ayunan,
jungkat-jungkit, dll beberapa menit lalu pulang. Kalo khilaf bisa sampai se-jam bahkan lebih. Si Dio ini selalu asyik diajak main walau kadang suka iseng. Physically, Dio matanya sipit dan anaknya
murah senyum. Jadi tiap senyum matanya nyaris tak nampak. Gaya rambutnya keseringan belah tengah gitu, istilah kerennya curtains hairstyle. Overall, dia cakep.
Suatu hari, gelagat si Dio beda dari
biasanya. Aneh. Dia nampak lebih calm hari itu. Kami bermain
seperti biasanya pada jam istirahat, namun hari itu situasinya agak awkward (antara saya dan Dio). Ketika yang lain sibuk dengan
permainannya, Dio pelan-pelan mendekatiku dan berdiri tepat di hadapanku.
Seperti sedang ingin menyampaikan sesuatu tapi tertahan. Kami dalam keramaian,
tapi di momen seper-sekian detik itu seperti hanya ada saya dan dia di sana. Waktu terasa berhenti sesaat, persis ketika dia mengucapkan sesuatu, "Dewi, sa suka ko". Tidak ada tanggapan dariku, tidak ada
senyum ataupun marah. Hanya diam. Hening. Saya menatapnya gamang sebelum hening itu buyar oleh dering bel masuk kelas.
Sa suka ko. Ini dialek Papua. Dulu
saya sempat mengecap masa sekolah di Papua. Arti kalimat ini adalah, saya suka kamu. "Sa" artinya "Saya" dan "Ko" artinya "Kamu".
"Dewi, sa suka ko"
Kalimat itu terngiang-ngiang dalam
pikiran. Dio? Suka saya? Ah mana mungkin. Pasti cuma bercanda. Kami masih
terlalu belia untuk menganggap itu hal serius. Tapi akhir-akhir ini dia memang
beda. Sontak ungkapan Dio mengundangku ke dalam ruang renung yang panjang.
Keesokan harinya tempat duduk Dio
kosong. "Eh Dio kenapa tidak masuk ee?", tanya teman kelasku yang
tempat duduknya tidak jauh dariku. Saya pun penasaran "Kok dia tidak masuk
ya?", tanyaku dalam hati. Di tengah jam belajar ada orang dewasa yang masuk dengan sepucuk surat di tangannya. Dia menghampiri meja bu guru. Bicaranya agak lama. Rupanya Dio
sakit. Dia demam berdarah dan masuk rumah sakit. Duh, kasihan Dio.
Tepat dua hari setelah kejadian itu, tempat
duduk Dio masih kosong. Dio, semoga lekas sembuh. Tapi kalau dia sembuh dan
masuk kembali bakalan gimana ya? Pasti awkward. Ah gak peduli. Pokoknya semoga
Dio sembuh dan kembali sekolah lagi. Ya, dia mesti sembuh. Aamiin.
Tentang kalimat 3 kata itu hanya
saya--Dio--dan--Allah yang tahu saat itu. Saya malu menyampaikan ini pada teman,
terlebih teman sebangku. Bisa geger. Tahu kan anak sekolahan suka rame kalo
bahas hal romansa. Apalagi ini antar-teman-sekelas. Saya malu.
Hari demi hari berlalu, Dio belum
menunjukkan batang hidungnya di sekolah. Kangen Dio. Beberapa hari terakhir,
teman pulang sekolah kami kurang 1. Kurang Dio. Kelas juga jadi kurang rame
karena biasanya si Dio ini punya bahan lelucuan untuk mengocok perut seisi
kelas.
Jadwal masuk sekolah kami selalu
bergantian tiap pekan. Kadang masuk pagi, kadang masuk siang. Maklum jumlah
siswa melebihi kapasitas kelas. Pekan itu kami masuk siang. Setelah sholat
shubuh saya tidur lagi di ranjang bertingkat. Tiba-tiba saya terbangun oleh suara pengumuman masjid. Masjid bersuara di luar jam sholat. Ada pengumuman apa ini?
Kalimat demi kalimat pengumuman masjid tidak terdengar jelas. Hanya saja
telinga ini mendengar sebuah nama yang tidak asing. Oh tidak, saya nyaris
loncat dari ranjang bertingkat.
Ketika keluar kamar, ternyata ada
mama sedang duduk menyimak pengumuman masjid. "Ma, itu benar kah
(pengumumannya)?", tanyaku pada mama. "Iya nak, temanmu meninggal".
"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun". Auto-lemas. "Ma, ayo
kita ke rumahnya". Mama pun mengiyakan.
Bagaimana perasaanmu ketika
mendengar kabar bahwa temanmu meninggal dunia? Bagaimana perasaanmu ketika
melihat jasadnya terbaring tanpa ruh, tepat di hadapanmu? Terbujur kaku tanpa sepatah kata. Sedih. Pasti sedih.
Demikianlah perasaanku. Pandanganku tersita pada fotonya yang berpose senyum. Dalam hati berkata, "Dio, saya tahu kamu ada di sini, ada di
sekitar kami. Bukan inginku untuk menemuimu dalam kondisi kita sudah berbeda dimensi. Maaf tidak menjengukmu, sungguh aku tak tahu kalau separah
itu. Kelas akan sepi tanpa candaanmu. Teman pulang sekolahku pun akan berkurang. Teman mainku berkurang.
Maaf jika selama ini belum jadi teman yang baik, Dio. Maaf jika selama ini pernah
mengecewakanmu. Dan maaf karena hari itu tidak menanggapi ungkapan perasaanmu.
Mungkin 3 kata yang kau ucapkan hari itu adalah sebuah isyarat pisah darimu.
Mungkin hari itu kau sedang memberi salam perpisahan padaku". Dio :'
Tentang Dio, ada hal yang sebenarnya
membuat diriku sulit menerima sampai hari ini. Ternyata Dio meninggal karena
kesalahan prosedur perawatan. Kasusnya bahkan berlanjut hingga meja hijau, yang
pada akhirnya dimenangkan oleh keluarganya. Bagaimana pun, ini pasti terjadi karena sudah ajalnya.
Terlepas dari sebab-sebab kematiannya, memang ini sudah ketetapan Allah.
Qaddarullah.. Semoga keluargamu diberi kelapangan hati, agar ikhlas melepasmu.
Terima kasih karena dulu pernah mengisi hari-hariku. Terima kasih sudah
mewarnai masa kecilku, jadi teman bermainku, dan.. terima kasih sudah
mengungkapkan suka padaku. Semoga Allah memberimu tempat terbaik di sisi-Nya.
Allahummagfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhuπ
Comments
Post a Comment